Walau sudah masuk tahun kedua belajar di Amerika, saya tetap merasakan beratnya menghadapi kesendirian dan keterpisahan dari istri. Masuk tahun kedua, tidak berarti saya jadi terbiasa atau ringan menjalani keadaan berjauhan dari istri. Kerinduan kepada istri dan keluarga selalu ada setiap hari. Dan kerinduan ini menyesakkan.
Meskipun kehidupan dan studi di Amerika mendatangkan aneka sukacita dan pengalaman berharga, tetap tidak bisa menggantikan kerinduan ini. Semacam ada lubang besar di hati yang tidak bisa diisi oleh apapun kecuali pulang ke Indonesia, dan kembali berkumpul dengan istri serta keluarga.
Pelajaran hidup ini menerbitkan pemahaman saya akan kerinduan eskatologis. Bukankah setiap anak Tuhan adalah musafir di dunia ini? Bukankah rumah kita adalah surga? Walau kehidupan di dunia adalah anugerah Tuhan dan kesempatan kita untuk berkarya membangun kerajaan Allah, kita tetap dipenuhi rasa rindu kepada Allah dan surga bukan?
Saya sadar bahwa kerinduan kepada istri dan keluarga disebabkan karena saya mencintai mereka. Cinta selalu membuat saya ingin berkumpul dengan mereka. Begitu pula kerinduan eskatologis kita. Kita bisa merindukan Tuhan semata-mata karena kita mencintai Dia.
Kita memang hidup di tengah-tengah tegangan "already but not yet". Bersama seluruh anak-anak Tuhan sepanjang masa, dengan penuh rindu kita berdoa, "Datanglah kerajaan-Mu..."
Thursday, September 27, 2007
Friday, June 15, 2007
Kemampuan Saja Tidak Cukup
Tiga hari yang lalu, saya ambil road test untuk mendapatkan driver license di Amerika. Dan saya gagal hanya karena saya salah membaca peraturan lalu lintas! Kegagalan ini menyesakkan karena saya mengemudikan mobil sudah lebih dari sepuluh tahun. Ribuan jam sudah saya gunakan untuk mengemudikan mobil selama di Indonesia. Kemampuan mengendarai mobil sudah mendarah daging dalam diri saya. Namun, saya tetap gagal dalam road test.
Justru inilah pelajaran yang Tuhan hendak berikan. Kemampuan saja tidak cukup walaupun kemampuan saya termasuk mahir. Untuk selamat di jalanan, saya membutuhkan hal lain yang sama pentingnya yaitu pemahaman akan rambu lalu lintas dan disiplin berkendara.
Dalam hidup pun demikian. Kita merasa dengan memiliki kemampuan cukup untuk menyenangkan hati Tuhan. Kita merasa talenta cukup untuk melayani Tuhan. Kita bukan saja hidup untuk Tuhan tetapi juga hidup menurut Firman-Nya. Kita tidak cuma pada "Apa yang bisa kita berikan kepada Tuhan", namun juga "Bagaimana seharusnya kita berikan kepada Tuhan".
Ngomong-ngomong, kemarin saya baru saja ambil road test ulangan. Dan saya lulus. Hore!
Justru inilah pelajaran yang Tuhan hendak berikan. Kemampuan saja tidak cukup walaupun kemampuan saya termasuk mahir. Untuk selamat di jalanan, saya membutuhkan hal lain yang sama pentingnya yaitu pemahaman akan rambu lalu lintas dan disiplin berkendara.
Dalam hidup pun demikian. Kita merasa dengan memiliki kemampuan cukup untuk menyenangkan hati Tuhan. Kita merasa talenta cukup untuk melayani Tuhan. Kita bukan saja hidup untuk Tuhan tetapi juga hidup menurut Firman-Nya. Kita tidak cuma pada "Apa yang bisa kita berikan kepada Tuhan", namun juga "Bagaimana seharusnya kita berikan kepada Tuhan".
Ngomong-ngomong, kemarin saya baru saja ambil road test ulangan. Dan saya lulus. Hore!
Saturday, May 26, 2007
Bukti Iman
Seringkali, kita berpikir bahwa iman dibuktikan oleh hal-hal yang spektakuler seperti mujizat. Kita menilai kecil besarnya iman kita dari peristiwa istimewa yang kita alami dalam hidup. Namun, bila kita membaca Ibrani 3:1-19. Iman kita tidak terutama dibuktikan oleh hal-hal yang luar biasa.
Bukti iman yang terbesar adalah kesetiaan. Dalam bahasa Inggris sangat indah. Iman adalah faith. Sedangkan kesetiaan adalah faithfulness. Hanya melalui kesetiaan maka iman kita dapat terbukti kesungguhan dan kesejatiannya.
Dalam Perjanjian Baru, Stefanus menjadi Martir pertama yang dicatat. Alkitab tidak menulis prestasi-prestasi Stefanus selama hidup. Namun, dia menjadi teladan sebagai Martir pertama karena kesetiaannya. Dia menjadi teladan iman karena kesetiaannya telah teruji melalui aniaya dan kematian.
Tentu saja, tidak setiap kita akan menghadapi aniaya dan kematian seperti Stefanus. Namun banyak hal dalam hidup ini yang akan menggagalkan kesetiaan kita. Kesukaran, dosa, kenikmatan duniawi, agenda pribadi, dan sebagainya dapat menjadi sumber ketidaksetiaan kita. Kita bahkan dapat menjadi tidak setia kepada Tuhan di tengah hidup yang nyaman dan enak.
Bukti iman yang terbesar adalah kesetiaan. Dalam bahasa Inggris sangat indah. Iman adalah faith. Sedangkan kesetiaan adalah faithfulness. Hanya melalui kesetiaan maka iman kita dapat terbukti kesungguhan dan kesejatiannya.
Dalam Perjanjian Baru, Stefanus menjadi Martir pertama yang dicatat. Alkitab tidak menulis prestasi-prestasi Stefanus selama hidup. Namun, dia menjadi teladan sebagai Martir pertama karena kesetiaannya. Dia menjadi teladan iman karena kesetiaannya telah teruji melalui aniaya dan kematian.
Tentu saja, tidak setiap kita akan menghadapi aniaya dan kematian seperti Stefanus. Namun banyak hal dalam hidup ini yang akan menggagalkan kesetiaan kita. Kesukaran, dosa, kenikmatan duniawi, agenda pribadi, dan sebagainya dapat menjadi sumber ketidaksetiaan kita. Kita bahkan dapat menjadi tidak setia kepada Tuhan di tengah hidup yang nyaman dan enak.
Friday, May 18, 2007
Tahun Pertama di Seminari
Segala puji syukur kepada Tuhan. Dengan anugerah-Nya, saya tiba di akhir tahun pertama kuliah di Calvin Theological Seminary.
Saya teringat masa-masa sebelum berangkat dan bulan-bulan pertama di Amerika. Sungguh pergumulan yang tidak mudah bagi saya kuliah teologi dalam bahasa Inggris. Keduanya adalah pengalaman yang baru bagi saya. Ditambah saya sudah "tidak makan bangku kuliah" selama hampir delapan tahun. Saya tidak bisa lupa pergumulan saya untuk menulis dan membaca dalam bahasa Inggris, apalagi bicara. Saat itu, menulis satu paragraf saja membutuhkan satu jam. Sedangkan membaca, memerlukan 10-15 menit untuk memahami satu halaman. Frustrasi sekali. Saya sampai membuat komentar untuk mentertawakan diri sendiri, "This is for the first time that English makes me surrender to God!"
Namun, janji Tuhan dalam 1 Tesalonika 5:24 sangat terbukti! Dia yang memanggil, Dia yang setia, dan Dia pula yang bekerja. Saya mengenang kebaikan teman-teman Indonesia di Grand Rapids seperti Amos, Yuzo, Ferry, ci Mega, dan lainnya. Juga Tom dan Brian. Secara khusus Tom, pekerjaannya sebagai misionaris di Filipina telah menjadikannya peka terhadap pergumulan bahasa saya - karena dia pernah merasakannya juga, yaitu sewaktu dia belajar bahasa Tagalog. Dalam suatu pertemuan dengan teman mahasiswa bule lainnya, Tom mengajak mereka berempati terhadap saya. Dia mengatakan, "Kita bicara bahasa Inggris dengan 99% memikirkan isinya dan 1%-nya berkaitan dengan bagaimana kita mengungkapkannya. Sedangkan Jimmy, 99% memikirkan cara pengungkapannya." Saya mengalami sendiri akan persekutuan dengan saudara seiman sebagai sarana anugerah Allah.
Dari sekian banyak berkat lainnya yang saya peroleh selama tahun pertama ini, hal yang paling signifikan adalah bagaimana Allah mengajarkan integrasi teologi dan kehidupan. Para Reformator besar seperti Calvin, Luther, Bucer, Zwingli, Baxter, dan sebagainya menuliskan dokumen teologi mereka dalam rangka menolong kehidupan umat Allah menjadi lebih kudus. Bagi mereka, teologi bukan sekolah ide tapi sekolah kehidupan. Bahkan Calvin sendiri menuliskan keterangan di bawah judul mahakaryanya "Institutes of Christian Religion" sebagai berikut: "The Institute of the Christian Religion, containing almost the whole sum of Piety, and whatever it is necessary to know in the Doctrine of Salvation. A work very well worth reading by all persons zealous for Piety..."
Saya jadi teringat perkataan Paulus sendiri, "Tanpa kasih, pengetahuan menjadi sia-sia." Kiranya Tuhan menjauhkan saya dari teologi yang dingin dan tidak berdampak pada kehidupan, seberapapun penting dan cerdasnya itu.
Saya teringat masa-masa sebelum berangkat dan bulan-bulan pertama di Amerika. Sungguh pergumulan yang tidak mudah bagi saya kuliah teologi dalam bahasa Inggris. Keduanya adalah pengalaman yang baru bagi saya. Ditambah saya sudah "tidak makan bangku kuliah" selama hampir delapan tahun. Saya tidak bisa lupa pergumulan saya untuk menulis dan membaca dalam bahasa Inggris, apalagi bicara. Saat itu, menulis satu paragraf saja membutuhkan satu jam. Sedangkan membaca, memerlukan 10-15 menit untuk memahami satu halaman. Frustrasi sekali. Saya sampai membuat komentar untuk mentertawakan diri sendiri, "This is for the first time that English makes me surrender to God!"
Namun, janji Tuhan dalam 1 Tesalonika 5:24 sangat terbukti! Dia yang memanggil, Dia yang setia, dan Dia pula yang bekerja. Saya mengenang kebaikan teman-teman Indonesia di Grand Rapids seperti Amos, Yuzo, Ferry, ci Mega, dan lainnya. Juga Tom dan Brian. Secara khusus Tom, pekerjaannya sebagai misionaris di Filipina telah menjadikannya peka terhadap pergumulan bahasa saya - karena dia pernah merasakannya juga, yaitu sewaktu dia belajar bahasa Tagalog. Dalam suatu pertemuan dengan teman mahasiswa bule lainnya, Tom mengajak mereka berempati terhadap saya. Dia mengatakan, "Kita bicara bahasa Inggris dengan 99% memikirkan isinya dan 1%-nya berkaitan dengan bagaimana kita mengungkapkannya. Sedangkan Jimmy, 99% memikirkan cara pengungkapannya." Saya mengalami sendiri akan persekutuan dengan saudara seiman sebagai sarana anugerah Allah.
Dari sekian banyak berkat lainnya yang saya peroleh selama tahun pertama ini, hal yang paling signifikan adalah bagaimana Allah mengajarkan integrasi teologi dan kehidupan. Para Reformator besar seperti Calvin, Luther, Bucer, Zwingli, Baxter, dan sebagainya menuliskan dokumen teologi mereka dalam rangka menolong kehidupan umat Allah menjadi lebih kudus. Bagi mereka, teologi bukan sekolah ide tapi sekolah kehidupan. Bahkan Calvin sendiri menuliskan keterangan di bawah judul mahakaryanya "Institutes of Christian Religion" sebagai berikut: "The Institute of the Christian Religion, containing almost the whole sum of Piety, and whatever it is necessary to know in the Doctrine of Salvation. A work very well worth reading by all persons zealous for Piety..."
Saya jadi teringat perkataan Paulus sendiri, "Tanpa kasih, pengetahuan menjadi sia-sia." Kiranya Tuhan menjauhkan saya dari teologi yang dingin dan tidak berdampak pada kehidupan, seberapapun penting dan cerdasnya itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)